Mengapa Babi Diharamkan?

Sabtu, 18 Februari 2012


oleh Titok Priastomo
Sekitar tiga tahun yang lalu, dalam sebuah perkuliahan, dosen saya -yang sudah cukup saya kenal- melemparkan sebuah pertanyaan. Pertanyaannya sederhana, tapi menurut saya sulit untuk dijawab, “kenapa babi diharamkan oleh Allah?”.Setelah itu, beliau menjelaskan masalah tersebut. Akan tetapi, penjelasan yang beliau sampaikan itu belum pernah dikemukakan oleh seorang ahli fiqh mana pun. Sebab, beliau memang tidak menggunakan perspektif fuqohaa’, tapi menggunakan perpektif seorang scientist muslim.

Singkatnya, menurut beliau, babi diharamkan karena karakter genetiknya memiliki kemiripan dengan manusia. Sifat genetik dari kedua spesies ini bisa berinteraksi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, jika manusia makan daging babi, maka dikhawatirkan, karakter jelek yang dibawa oleh ciri genetik babi akan mempengaruhi sifat-sifat dari manusia (ih..!, ngeri juga). Kalau itu bener, subhaanallah, itu merupakan kekuasaan Allah! Dengan itu, pak dosen menganggap bahwa kita telah menemukan alasan ilmiah “kenapa Allah mengharamkan babi”.
Selepas beliau memberi penjelasan itu, saya angkat tangan, pengen memberi komentar. Kemudian beliau mempersilahkan saya bicara. Dengan hormat saya katakan meski informasi yang beliau sampaikan itu sangat berharga, tapi saya tidak sepakat jika masalah genetik itulah yang kita anggap sebagai penyebab diharamkannya daging babi. Intinya, saya katakan bahwa pengharaman daging babi itu bersifat tauqifi, yakni ketentuan yang ditetapkan oleh Allah di dalam nash syara’ tanpa didasarkan atas alasan rasional apa pun. Allah menetapkan keharamannya berdasarkan kekuasaanNya, dan Dia tidak membutuhkan justifikasi ilmiah apa pun untuk menetapkan keputusanNya dalam aspek hukum. Sesungguhnya itu urusan Allah. Dan yang lebih penting, kita meninggalkan daging babi itu semata-mata karena taat kepada Allah, bukan karena takut tertular sifat-sifat kebabian.
Di sinilah saya terlihat bodoh di mata kebanyakan kaum “intelek”! (gpp, bdh kan bkn kejahatan).
Seorang teman mengatakan kepada saya:
Allah itu memberi manusia akal agar ia bisa memikirkan alasan yang tersembunyi dibalik hukum yang Dia turunkan. Sebab, Allah melarang sesuatu bukan tanpa alasan. Makanya Allah banyak memotivasi kita untuk berfikir (…la’allakum ta’qiluun, ….la’allakum tatafakkaruun)”
Ada juga yang berkata:
kita tidak boleh asal ngikut. Dengan mengetahui alasan di balik keharaman babi, kita jadi lebih mantap dalam meninggalkannya (ada dalilnya : wa idzaa qiila lahumut tabi’uu maa anzalallaahu qooluu bal nattabi’u maa alfaina ‘alaihi aabaa-ana,.. ilaa akhiril ayah)”.
Ada lagi yang berkata:
“kalau kita tahu segala macam hikmah-aqliyah yang terkandung di dalam hukum syara’, maka kita bisa menjelaskan hukum-hukum itu secara ilmiah kepada non muslim, dan kita bisa menunjukkan bahwa islam itu adalah agama yang ilmiah, rasional, penuh hikmah dan penuh rahmat (wa maa arsalnaaka illaa rahmatal-lil ‘aalamiin)”.
Wah, ada beribu kata yang ingin saya keluarkan jika mendengar semua itu, sampai beribet mau nyusunnya.
Menurut saya, pandangan di atas bisa merusak kerangka standar perbuatan kaum muslimin. Berikut adalah beberapa alasan yang bisa saya sampaikan untuk menolak penta’lilan (penetapan alasan) atas haramnya babi:
Pertama, saya berpendapat bahwa pengharaman babi itu adalah permasalahan syar’i, atau permasalahan fiqh. Bidang ini memiliki epistimologi tersendiri, bukan berdasarkan prinsip positivisme logis, yang tidak menerima segala sesuatu kecuali jika bisa dibuktikan dengan -apa yang mereka sebut sebagai- “metode ilmiah”. Padahal, jika kita membahas hukum syara’, dari dulu sampai sekarang, yang namanya hukum syara’ itu didalili oleh dalil-dalil syara’. Meski jaman telah menyaksikan perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa, dalil syara’ itu tetap, tidak bertambah, yakni Al Qur’an, As Sunah, ijma’ shohabat dan qiyas. Sedangkan teori ilmiah tidak akan berubah status menjadi dalil syara’.
Atas dasar itu, tindakan mendalili hukum syara’ dengan penemuan ilmiah adalah tindakan yang tidak benar. Itu tergolong tindakan menjadikan akal sebagai dalil atas hukum syara’. Jadi menurut saya, boleh saja kita meneliti dan menyingkap “madlorot” yang ditimbulkan oleh daging babi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi jangan jadikan hasil penelitian itu sebagai illat (alasan) pengharaman babi.
Kedua, tindakan mendasarkan pengharaman daging babi pada madlorot yang ditimbulkannya sama artinya dengan merombak falsafah hukum dalam islam. Yang kita jadikan standar dalam perbuatan itu bukan manfaat dari hukum, melainkan hukum itu sendiri. Umat islam bukanlah kaumutilitarian yang mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap baik karena ia bermanfaat dan dianggap buruk karena tidak bermanfaat atau merugikan. Kita hidup di dunia untuk taat kepada Allah. Kita mengerjakan apa yang Dia perintahkan semata-mata karena ketaatan. Kita meninggalkan apa yang Dia larang semata-mata karena ketundukan. Kita tidak melakukan sesuatu pun di duniaNya ini kecuali dengan ijinNya, itu semata-mata karena kita diciptakanNya untuk menjalani ketaatan, kepasrahan, pengabdian, dan ketundukan kepada Allah Ta’aalaa.
Seandainya kita tidak merasakan manfaat apa pun setelah taat kepada Allah, maka itu bukan menjadi soal bagi kita. Meski kita tahu bahwa di dalam daging babi itu terdapat banyak potensi madlorot, tapi kita menjauhinya bukan semata-mata karena takut terkena madlorot itu. Yang sebenarnya mendasari sikap kita adalah hukum syara’. Sesuatu yang haram wajib ditinggalkan meski sesuatu itu banyak manfaatnya. Sebaliknya, kewajiban itu tetap harus dilaksanakan, meski nampaknya menimbulkan kerugian dan kemadlorotan.
Mungkin pendapat pak Dosen tadi tidak terlalu berbahaya jika didengar oleh kalangan yang syakhshiyahislamnya sudah terbentuk. Tapi bagi kalangan yang masih awam, itu berbahaya. Karena yang dibutuhkan ketika kita berinteraksi dengan orang awam adalah “menginstall” sikap taat dan patuh kepada hukum Allah, baik dalam perkara yang disenangi maupun dalam perkara yang dibenci, baik dalam perkara yang menyenangkan maupun dalam perkara yang tidak menyenangkan, baik dalam perkara yang memberi manfaat maupun dalam perkara yang memberi kerugian secara materi. Jika kita selalu mendasarkan hukum syara’ pada asas manfaat, maka orang-orang awam hanya akan mau mengerjakan perintah Allah yang menurut mereka bermanfaat. Itu pun tidak didasari sikap istislam, tapi hanya ingin mendapat manfaat semata. Kalau mereka tidak menemukan penjelasan ilmiah dalam hukum syara’, maka mereka akan enggan menjalankannya.
Ketiga, membebani diri kita untuk memikirkan alasan rasional di balik hukum syara’ adalah tindakan yang di luar kemampuan manusia. Sekali lagi, boleh saja meneliti madlorot yang diakibatkan oleh daging babi secara ilmiah. Itu ilmu yang insyaAllah bermanfaat. Tapi kita tidak boleh mengatakan bahwa kita bisa  menemukan alasan Allah dalam mengharamkan daging babi melalui sebuah penelitian ilmiah. Itu merupakan tindakan membebani manusia di luar batas kemampuannya. Manusia tidak diperintahkan untuk memahami kehendak Allah, tapi dia hanya diperintahkan untuk taat kepada Allah. Inilah masalah simpel yang sejak dulu dipahami oleh umat islam. Jika manusia memaksakan diri untuk mengungkap rahasia dibalik hukum Allah, kalau pun ada, manusia akan kesulitan setengah mati.
Coba, silahkan temukan alasan rasionalnya! Kenapa wudlu justru diganti dengan tayamum?Padahal wudlu itu aktivitas bersuci menggunakan air yang bisa menghilangkan kotoran, sedangkan tayamum justru menempelkan kotoran ke badan. Apa alasan rasionalnya?
Ada lagi: Orang mencuri harta senilai di atas 1/4 dinar harus dipotong tangannya. Tapi, orang yang hanya kehilangan sebuah jari justru mendapat ganti 1/10 diyat, yaitu 10 ekor unta, atau 100 dinar, atau 1.200 dirham. Kenapa hanya karena 1/4 dinar orang harus kehilangan tangan, tapi orang yang kehilangan satu jari justru mendapat ganti 100 dinar? (satu dinar adalah 4,25 gram emas). Bukankah seharusnya tangan jauh lebih mahal dari pada jari? Kenapa hukum syara’ menetapkan demikian? Adakah alasan rasionalnya?
Ada lagi: kenapa air kencing bayi laki-laki yang baru minum susu jika mengenai baju cukup disucikan dengan diperciki air tanpa harus dicuci, sedangkan kencing bayi perempuan harus dicuci? Apa bedanya air kencing bayi perempuan dengan laki-laki?
Ada lagi, dalam banyak nash dijelaskan bahwa riba itu dosanya jauh lebih berat dari zina. Tapi kenapa Allah tidak menetapkan hukuman mati bagi pemakan riba, justru pezina muhshon yang harus dirajam? Bukankah menurut akal, dosa yang lebih berat itu harus dihukum dengan hukuman yang lebih berat?
Kenapa wanita tidak boleh menjadi kepala negara, padahal bisa jadi ia lebih cakap dari laki-laki?
Kenapa harta pusaka yang jatuh kepada ibu lebih sedikit dari harta pusaka yang menjadi bagian ayah? Padahal bukankah dalam beberapa hadits kita diperintahkan untuk mendahulukan ibu?
Kenapa Allah menetapkan hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berzina tapi tidak menetapkan hukuman bagi orang yang menuduh kafir? Padahal bukankah tuduhan kafir itu lebih berat dari tuduhan zina?
Kenapa masa iddah wanita yang cerai cuma tiga bulan sedangkan wanita yang ditinggal mati harus beriddah selama empat bulan sepuluh hari? Bukankah maksudnya sama, yakni pembersihan rahim? Kenapa air mani dianggap suci, sedangkan air kencing, wadhi, dan madhi dianggap najis? Padahal bukankah keempatnya keluar dari tempat yang sama?
Kenapa islam menghalalkan kepemilikan budak, padahal islam menganggap semua manusia sama?
Kenapa islam membolehkan poligami, padahal bukankah ia akan menimbulkan kecemburuan?
Kenapa kesaksian wanita bernilai setengah dari kesaksian pria? Kenapa wanita tidak dibolehkan menjadi imam sholat meskipun bacaannya lebih baik dari seluruh laki-laki?
ADAKAH KITA HARUS MENGETAHUI SEMUA ALASAN ITU?Adakah pertanyaan-pertanyaan orang kafir dan orang awam dalam hal itu harus kita jawab secara ilmiah? Seandainya kita tidak punya alasan ilmiah apa pun atas semua itu, lantas apa yang akan kita katakan kepada ummat? Allaahu Akbar!
Keempat, Memang ‘illat (alasan dibalik pensyariatan suatu hukum) itu kadang kita temukan jelas di dalam nash. Tapi, menetapkan illat memiliki konsekuensi yang tidak sederhana. Para ulama ushul mengatakan; al hukmu yaduuru ma’a illatihi, wujudan wa ‘adaman, hukum itu beredar menurut keberadaan ‘illatnya, jika ‘illatnya ada, maka hukumnya ada, tapi jika ‘illatnya hilang, maka hukumnya juga hilang. Jika ‘illat keharaman babi adalah permasalahan genetik, maka selama permasalahan tadi tidak hilang dari tubuh babi, ia tetap haram. Tapi, jika masalah genetik itu nanti bisa diatasi, maka babi akan menjadi halal. Kenapa menjadi halal? Karena alasan keharamannya sudah dihilangkan. Weh..! Ini jelas tidak bisa diterima.
Konsekuensi lainnya, kasus yang mengandung ‘illat bisa menjadi al-ashl dalam proses qiyas. Atas dasar itu, segala hal yang mempunyai kesamaan ‘illat dengan al-ashlakan memiliki kesamaan hukum dengan al-ashl pula. Jika masalah genetik tadi dianggap ‘illat, dan ternyata masalah itu terdapat pula pada hewan lain, maka hewan itu akan ikut haram pula. Padahal bisa jadi hewan tersebut telah jelas-jelas dihalalkan, seperti unta misalnya. Ini juga jelas tidak bisa diterima!Wallahu a’lam
Kesimpulannya: Penetapan ‘illat secara ‘aqli tidak bisa diterima. Sebab, menetapkan ‘illathukum itu adalah hak “prerogatif” Allah. Atas dasar itu, ‘llat harus bersifat syar’i,bukan aqli.Penetapan ‘illat adalah perkara yang hanya bisa dicapai dengan dalil sam’i, khobari, naqli. Artinya,‘ilIat suatu hukum hanya bisa ditetapkan jika Allah mengkabarkannya di dalam nash. Jika tidak didapati suatu ‘illat di dalam nash, maka tidak boleh menetapkan illatnya dengan akalSubhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa, Innaka Antal ‘Aliimul  Hakiim…
[Mei 2007] 
Sumber Inspirasi:
Kuliah Agama Islam Kontekstual
Mafaahiim Hizbit tahrir, Karya An Nabhaaniy

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti