Pertama-tama, istilah sesat, atau dalam bahasa Arabnya adalah dhalal, secara harfiah, berarti dhiddu ar-rasyâd (kebalikan petunjuk). Secara syar’i, dhalâl berarti inhirâf ‘an al-Islâm (menyimpang dari Islam) [1]. Dalam konteks ini, istilah dhalal digunakan untuk menyatakan kekufuran, sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam nas al-Qur’an, antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya" (QS. an Nisa’: 136)
Karena itu, dalam persepektif syara’, dikatakan sesat, ketika paham atau aliran tersebut benar-benar menyimpang dari Islam, atau kufur. Karenanya, selama masih berpijak kepada dalil syariah atau syubhat dalil, suatu aliran atau paham tidak boleh dianggap sesat, atau kufur. Meski mungkin saja salah (khatha’).