Dakwah Budaya VS Dakwah Syariah

Kamis, 29 April 2010

Manusia sosial merupakan suatu keniscayaan, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya al-Muqaddimah, itulah yang diungkapkan para ahli hikmah bahwa “manusia adalah makhluk sosial”, maksudnya ia pasti hidup bermasyarakat dan hidup bersama manusia. Hidup bersama ini pasti memunculkan interaksi-interaksi dan hubungan-hubugan antar individu, serta berbagai permasalahan yang muncul sebagai dampak dari interaksi tersebut. Sebagaimana individu dalam masyarakat tidak menikmati kebebasan absolut, karena hal itu bertentangan dengan kebebasan manusia lain yang dapat menimbulkan perselisihan yang hanya mengakibatkan kehancuran masyarakat itu sendiri, karenanya masyarakat tidak akan terlepas sejak dahulu hingga kini dari ikatan-ikatan yang mengatur hubungan antar individu dan hubungan mereka dengan masyarakat, serta membatasi hak dan kewajiban dan kebebasan mereka pada suatu tatanan.
Disinilah letak dakwah yang akan mengajarkan tentang syariat islam kepada umat dengan menggunakan pendekatan kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing orang di tempat-tempat yang berbeda-beda kebudayaan, agar kita belajar dan memahami kebudayaan lain, dan mereka dapat menerima islam beserta ajaran-ajarannya tanpa menyinggung kebudayaan itu sendiri namun dengan tolak ukur syariat.

 Pengertian syari’at islam
Konsep yang paling penting dan komprehensif untuk menggambarkan islam sebagai suatu fungsi adalah konsep “syari’ah” atau “syar’”, semula kata ini berarti menuju kesumber air, yakni jalan kearah sumber pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara’a berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air dalam pemakaianya yang religius, kata ini mempunyai arti “jalan kehidupan yang baik”. Yaitu nilai-nilai agama yang di ungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkret yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia.

Syariat islam berlaku universal meliputi semua manusia di setiap tempat dan waktu. Allah berfirman:

“Katakanlah hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (Al-A’Raf [7]:158)

“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (Saba’[34]:28)

Syariat ini bersifat abadi dan tidak mengalami perubahan atau penghapusan, atau lebih kuat darinya. Syariat yang nerupakan ketentuan dari Allah tidak dapat dihapus kecuali dengan ketentuan syari’at lain yang datang dari Allah. Disisi lain, syariat islam adalah penutup seluruh syari’at dan Muhammad itu penutup para Nabi.


Dasar-dasar syariat dan watak hukumnya
Ada dua macam syariat, pertama dalam bentuk hukum-hukum terperinci, dan kedua dalam bentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum, kedua syar’iat ini relevan untuk setiap tempat dan waktu dan selaras dengan universalitas dan keabadian syari’at.

Hukum-hukum terperinci
Hukum ini berkaitan dengan Akidah, Ibadah, Muamalah atau dengan sebagian masalah khusus yang terkait dengan hubungan antar sesama individu, sedangkan masalah-masalah ibadah mengatur hubungan antara individu dengan Tuhanya dalam bentuk hubungan tertentu. Aturan ini diperlukan manusia disetiap tempat dan waktu, karena ibadah merupakan keniscayaan kemakhlukanya terhadap pencipta yang maha Agung yang menghendaki hubungan makhluknya sedemikian rupa, terutama bentuk-bentuk ibadah tersebut memiliki faedah duniawi yang tampak pada keshalihan sosial. Cukuplah kami sebutkan sholat sebagai contohnya. Allah berfirman:

”sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar “(29:45)

Terjauhnya manusia dari perbuatan mungkar dan keji adalah sebuah maslahat yang nyata bagi manusia

Adanya peraturan tentang zakat menunjukan bahwa islam sangat mementingkan kepentingan bersama disamping mengakui adanya hak milik bagi seseorang. Islam mendidik naluri mementingkan diri sendiri kearah hidup bersama, mengangkat mereka dari sifat individualisme kederajat Collectivisme.

Zakat adalah ibadah yang mengatur hubungan antara individu dengan Tuhanya dalam urusan harta, Zakat juga memiliki maslahat yang nyata dalam masyarakat, begitu pula haji, karena haji merupakan sebuah kongres umum, media untuk saling mengenal dan tukar pengalaman mengenai berbagai kondisi , begitu pula ibadah-ibadah lainya.

Akhlak adalah unsur mendasar dalam menegakan urusan kehidupan dan keshalehan sosial. Kemajuan apapun dibidang budaya dan ilmu pengetahuan tidak dapat terwujudkan tanpa ahklak. Bukti hal ini dapat kita jumpai didunia sekarang ini, krisis yang dialaminya pada dasarnya adalah krisis moral. Karena itu ketika syariat menegakan sisi moral dan penetapan hukum-hukum akhlak tidak lain bertujuan untuk membangun pondasi masyarakat diatas dasar-dasar yang kokoh, dan menegakan bangunan perbaikan dengan dimulai dari jiwa, kemudian setelah itu semua, akhlak merupakan nilai-nilai permanen yang diperlukan oleh manusia normal, mustahil datang suatu masa dimana kejujuran, keadilan, menepati janji dan tidak menganiaya dianggap sebagai nilai-nilai yang tidak selaras dengan manusia beradab. Kecuali jika manusia telah kembali kepada kehidupan rimba dan rusak fitrahnya.

Hukum-hukum tafsiliyah (terperinci) lainya yang berkaitan dengan sebagian hubungan antar individu juga tidak dapat diganti, karena perincianya dibangun diatas prinsip bahwa hukum-hukum ini selalu diperlukan dan harus ada disetiap tempat dan masyarakat, dan bahwa hukum lain tidak dapat menggantinya dan tidak dapat memberikan kemaslahatan bagi manusia, diantara hukum-hukum ini adalah hukum-hukum keluarga, hukum-hukum perkawinan, hak mengasuh dan perwalian, dan perkara-perkara keluarga lainya. Tata cara nikah sangat mudah, dan terhindar dari formalitas dan upacara ritual, karena itu hukum pernikahan dalam islam cocok untuk setiap masa dan tempat, dan untuk melangsungkanya cukup dengan ijab dari pihak laki-laki atau wanita, dan Qobul dari pihak lain, disertai saksi akad ini untuk membedakan dari perzinahan, dan untuk menampakan kemuliaan akad nikah ini. Untuk keabsahan nikah tidak disyaratkan harus melalui orang tertentu, tidak tergambar dalam akal adanya tata cara yang lebih baik dan memberi kemaslahatan dari pada tata cara pernikahan yang luwes ini. Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Tujuan pernikahan secara umum adalah untuk menghindari zina dan pergaulan bebas dengan perempuan, maka pernikahan dilaksanakan secara terang-terangan didepan para saksi dan tidak bersembunyi-sembunyi karena itu menyangkut hubungan masalah keturunan dan nasab

Kebudayaan tidak mungkin lestari, kalau tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu pada anggotanya, sampai berapa jauh suatu kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Itulah yang akhirnya menentukan suksesnya. ”sukses” diukur dengan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri dan bukan sesuatu dari luar. Kebudayaan harus mampu memproduksi dan mendistribusikan barang-barang dan jasa yang dipandang perlu untuk hidup. Kebudayaan harus menjamin kelestarian biologis, dengan cara memproduksikan anggota-anggotanya. Para anggota yang baru harus dienkulturasikan sehingga dapat berperilaku sebagai orang dewasa, kebudayaan harus memelihara ketertiban diantara para anggotanya dan orang luar. Akhirnya kebudayaan harus memberi motivasi kepada para anggotanya untuk bertahan hidup dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk kelangsungan hidup itu. Proses Enkulturasi, proses itu dapat juga kita terjemahkan dengan suatu istilah indonesia yang cocok sekali, yaitu “pembudayaan”. Dalam proses itu seorang indivudu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaanya.

Kedua hukum dalam bentuk kaidah dan prinsip umum
Jenis hukum ini dalam bentuk kaidah –kaidah dan prinsip-prinsip umum yang dapat memenuhi semua kebutuhan manusia dan tidak mungkin tertinggal oleh kemajuan yang dicapai oleh masyarakat. Contohnya adalah:

• Syari’at islam mengajarkan prinsip musyawarah dalam pemerintahan.
• Prinsip persamaan, tidak ada keistimewaan bagi satu orang pun, masing-masing berkedudukan sama dihadapan hukum. Dari sini konsep persamaan sesuai untuk setiap tempat dan waktu dan tidak tertinggal dari kemajuan yang dicapai suatu masyarakat.
• Prinsip keadilan. Syari’at memerintahkan penegakan keadilan dimuka bumi dan pelaksanaan hukum dengan adil, meski terhadap kerabat, orang jauh dan lain-lain.
• Kaidah “la dharar wala dhirar” (tidak boleh melakukan madharat dan tidak boleh membalas dengan madharat).

Budaya dan dakwah
Budaya atau kebudayaan adalah spesifik manusiawi. Manifestasi dan perwujudan dari segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memudahkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terdiri dari nilai dan simbol. Nilai-nilai budaya itu tidak kasat mata, sedangkan simbol budaya yang merupakan perwujudan nilai itulah yang kasat mata. (Kuntowijoyo, 2002). Masjid, pasar, sekolah, rumah misalnya adalah perwujudan dari nilai-nilai budaya masyarakatnya. Setiap perwujudan aktivitas manusia nilai-nilai budaya senantiasa hadir dan semua punya nilai budaya, walau terkadang tidak merupakan simbol budaya.

Dakwah adalah panggilan atau seruan bagi umat manusia menuju jalan Allah, yaitu jalan menuju Islam. Sebagai dinullah, Islam bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul-NYA, ia merupakan sumber nilai yang akan memberikan corak, warna dan bentuk kebudayaan Islam. Suatu bentuk kebudayaan yang berisikan pesan atau nilai-nilai islami (menurut kacamata Al Qur’an dan As-Sunnah), sekalipun ia muncul dari orang atau masyarakat bukan penganut dinul-islam. Demikian juga sebaliknya, tidak dikatakan budaya Islam, walau ia lahir dari orang atau masyarakat penganut dinul-islam, jika tidak memuat pesan atau nilai-nilai Islami. Pada khakekatnya, dakwah islam merupakan aktualisasi imani (theologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa,berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.

Dalam perspektif dakwah Islam, budaya atau kebudayaan adalah aktualisasi dari sikap tunduk (ibadah atau peribadatan) manusia kepada Allah. Salah satu analog yang menunjukan simbol dan nilai budaya sebagai sikap tunduk pada Allah, tertera dalam Al Qur'an surat As- Syu’ara [26] ayat 224-227:


"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali". (QS.Asy syuaara/26:224-227).

Ayat di atas mennginformasikan, ada dua jenis budaya yang diwakili oleh sosok pelakunya. Pertama Budaya yang dibangun dengan dimensi TAQWA yang diwakili oleh sosok pelaku budaya yang beriman , beramal shaleh, dan senantiasa berdzikir mengingat Allah serta sabar menghadapi kezaliman. Jika disepakati bahwa budaya itu spesifik manusiawi, maka pengaruh ideologi, pandangan hidup, sikap hidup, dan cara berpikir pelaku atau peletek budaya itu menjadi nilai dasar dari bentuk budaya tersebut. Dengan demikian seseorang yang memiliki keshalehan individual dan keshalehan sosial dalam dirinya, tentu akan melahirkan jenis budaya yang juga beroreintasi memudahkan jalan orang lain atau masyarakat untuk menjadi shaleh (al Khair al Ummah). Seseorang yang berlatar belakang ideologi komunis atau kapitalis, misalnya, tentu juga akan menampilkan bentuk budaya dengan orientasi dan cara berpikir ideologi dimaksud dalam membangun tatanan masyarakatnya. Terkait dengan fungsi dakwah dalam tatatan budaya masyarakat (transhistoris).

Kesimpulan

Dakwah pada tataran diatas adalah upaya menjadikan Islam sebagai sumber konsep bagi manusia dalam meniti kehidupannya didunia. Usaha menterjemahkan nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang operasional di berbagai aspek kehidupan manusia. Termasuk juga implementasi konsep-konsep tersebut dalam kehidupan aktual manusia, baik individu, keluarga, dan masyarakat.

Salam Penutup
Setiap muslim dalam pandangan konsepsi Dakwah Islam, adalah Da’i (para penyeru perubahan) dalam budayanya masing-masing, oleh sebab itu selayaknya seorang muslim itu mengakrualisasikan fungsi dakwah tersebut di atas, untuk membangun budaya yang beradab, mencerahkan, berkemajuan, dan dan diridhoi oleh Allah SWT. Allahu ‘alam bishawwab.



DAFTAR ISI

Zaidan, Abdul Karim, Pengantar Studi Syariah, Jakarta: Rabbani Press, 2008.
Suminto, Problematika Dakwah, Jalarta: Tintamas Indonesia, 1975.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Al Jurjawi, Ali Ahmad,Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Semarang: CV Asy Syifa’
William A.Haviland, Antropologi, Surakarta, Erlangga, 1999.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru, 1983.
Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial (PLP2M.

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti