Terapkan Syariah dibumi Allah
jadwal sholat (Semarang)
Free Download Kitab Tafsir
- Tafsir Al Baidhowi
- Tafsir Jalalain, Al Mahali dan As Suyuthi
- Ad Daarul Mantsur oleh As Suyuthi
- Al Kasysyaaf oleh Az Zamakhsyari
- Ahkamul Qur’an oleh Al Jashshash
- Ahkamul Qur’an oleh Ibnu ‘Arobi
- Al Jami’ Li-ahkamil Qur’an oleh Al Qurtubi (pilih PDF)
- Ma’aalimut Tanzil, Oleh Al Baghowi
- Tafsir Ath Thobari
- Tafsir Bahrul Muhiith oleh Abu Hayan Al Andalusi
- Tafsir Fathul Qodir oleh Asy Syaukaniy
- Tafsir Ibnu Abi Hatim (Ar Razi)
- Tafsir Ibnu Katsir (pilih PDF)
- Tafsir Mafatihul Ghoib oleh Fakhruddin Ar Razi
- Tafsir Muharrarul Wajiz, Ibnu ‘Athiyyah
Download Kitab Hadits (PDF)
- Al Mustadrok ‘alaa Shohihaini, Al Hakim
- Al Muwaththo’, Imam Malik
- Fat-hul Kabiir, Oleh Yusuf An Nabhaniy
- Jami’ul Ushuul, Ibnul Atsir
- Kanzul ‘Umal, ‘Ala’uddin Al Hindi
- Majma’ Az Zawaid, Al Haitsami
- Ma’alimus Sunan, Al Khithobi
- Musnad Abu Dawud Ath thoyalisi
- Musnad Abu Ya’ya Al Maushuli
- Musnad Ibnul Mubarok
- Musnad Imam Ahmad atau Ini
- Musnad, Al Humaidi
- Shohih Al Bukhori
- Shohih Ibnu Hibban + Ta’liqot oleh Al Albaniy
- Shohih Muslim
- Sunan Abu Dawud
- Sunan Ad Darimi
- Sunan Ad Daroqudni
- Sunan An Nasa’i
- Sunan At Tirmidzi
- Sunan Ibnu Majjah
segala macam download
dapatkan skg juga
Acara Hari ini
Fakta Zaman ini
Bila ada orang atau kelompok dengan nyata-nyata merusak dan melecehkan ajaran Islam yang sangat fundamental, seperti Tuhan, Kitab Suci dan Rasulnya, di negeri-negeri Islam, maka orang dengan gampang mengatakan yang demikian itu adalah kebebasan berpendapat, berekspresi dan menafsirkan agama.
Namun, bila ada khatib, ustazd atau masyarakat Muslim mengajak jamaah dan umat Islam untuk konsiten dengan ajaran agamanya, maka orang dengan mudah menuduhnya sebabai khatib, penceramah atau ustazd yang keras dan tidak bisa berdakwah dengan hikmah, bahkan perlu dicurigai sebagai calon teroris.
Apa saja yang dituliskan dalam koran, dengan mudah orang mempercayainya, kendati itu hanya tulisan manusia dan belum teruji kebenarannya. Membaca dan mempelajarinya dianggap lambang kemajuan.
Akan tetapi, apa yang tercantum dalam Al-Qur’an belum tentu dipercayai dan diyakini kebenarannya, kendati mengaku sebagai Muslim. Padahal Al-Qur’an itu Kalamullah (Ucapan Allah) yang mustahil berbohong. Kebenarannya sudah teruji sepnajang masa dari berbagai sisi ilmu pengetahuan. Akhir-akhir ini muncul anggapan mengajarkan Al-Qur’an bisa mengajarkan paham terorisme.
Tidak sedikit manusia, termasuk yang mengaku Muslim yakin dan bangga dengan sistem hidup ciptaan manusia (jahiliyah), kendati sistem yang mereka yakini dan banggakan itu menyebabkan hidup mereka kacau dan mereka selalu menghadapai berbagai kezaliman dan ketidak adilan dari para penguasa negeri mereka. Mereka masih saja mengklaim : inilah jalan hidup yang sesuai dengan akhir zaman.
Namun, bila ada yang mengajak dan menyeru untuk kembali kepada hukum Islam, maka orang akan menuduh ajakan dan seruan itu akan membawa kepada keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, padahal mereka tahu bahwa Islam itu diciptakan oleh Tuhan Pencipta mereka (Allah) untuk keselamatan dunia dan akhirat dan Allah itu mustahil keliru dan menzalimi hamba-Nya.
Namun, bila ada khatib, ustazd atau masyarakat Muslim mengajak jamaah dan umat Islam untuk konsiten dengan ajaran agamanya, maka orang dengan mudah menuduhnya sebabai khatib, penceramah atau ustazd yang keras dan tidak bisa berdakwah dengan hikmah, bahkan perlu dicurigai sebagai calon teroris.
Apa saja yang dituliskan dalam koran, dengan mudah orang mempercayainya, kendati itu hanya tulisan manusia dan belum teruji kebenarannya. Membaca dan mempelajarinya dianggap lambang kemajuan.
Akan tetapi, apa yang tercantum dalam Al-Qur’an belum tentu dipercayai dan diyakini kebenarannya, kendati mengaku sebagai Muslim. Padahal Al-Qur’an itu Kalamullah (Ucapan Allah) yang mustahil berbohong. Kebenarannya sudah teruji sepnajang masa dari berbagai sisi ilmu pengetahuan. Akhir-akhir ini muncul anggapan mengajarkan Al-Qur’an bisa mengajarkan paham terorisme.
Tidak sedikit manusia, termasuk yang mengaku Muslim yakin dan bangga dengan sistem hidup ciptaan manusia (jahiliyah), kendati sistem yang mereka yakini dan banggakan itu menyebabkan hidup mereka kacau dan mereka selalu menghadapai berbagai kezaliman dan ketidak adilan dari para penguasa negeri mereka. Mereka masih saja mengklaim : inilah jalan hidup yang sesuai dengan akhir zaman.
Namun, bila ada yang mengajak dan menyeru untuk kembali kepada hukum Islam, maka orang akan menuduh ajakan dan seruan itu akan membawa kepada keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, padahal mereka tahu bahwa Islam itu diciptakan oleh Tuhan Pencipta mereka (Allah) untuk keselamatan dunia dan akhirat dan Allah itu mustahil keliru dan menzalimi hamba-Nya.
Monggo Tulis Nasehatnya
silahkan di unduh
Laman
SAHABAT NABI
Selasa, 23 Februari 2010
Shahabat adalah orang yang lama menjalin pershahabatan dengan Rasulullah saw, banyak mengikuti majelis Rasulullah saw dengan jalan bergaul intens (tatabbu'), dan mengadopsi langsung dari Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Syu'bah bin Musa al-Sabalaniy berkata, "Saya berjumpa dengan Anas bin Malik, kemudian saya bertanya kepadanya, "Apakah masih ada shahabat Rasulullah saw yang tersisa selain anda?" Anas berkata," Masih ada sebagian orang 'Arab yang melihat Rasulullah saw, adapun orang yang bershahabat dengannya sudah tidak ada". Al-Mazaniy berkata dalam Syarh al-Burhan, "Menurut kami, shahabat yang adil itu bukanlah orang yang sekedar melihat Rasulullah saw sehari atau melihatnya dengan temporal, atau berkumpul dengannya untuk suatu tujuan tertentu tetapi tidak berteman dekat dengan Rasulullah saw. Menurut kami, shahabat adalah orang yang dekat dengan Rasulullah saw, menolongnya, dan mengikuti cahaya (petunjuk) yang telah diturunkan Allah swt, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung". Imam Abu Bakar Ahmad bin 'Aliy al-Hafidz dengan sanad dari Sa'id bin Musayyab bahwa ia pernah berkata, "Kami tidak menghitungnya shahabat kecuali orang yang bersama dengan Rasulullah saw satu, atau dua tahun, dan berperang bersamanya sekali atau dua kali peperangan"
Atas dasar itu, seseorang tidak terhitung shahabat kecuali memenuhi syarat, atau tercakup dalam makna
shuhbah, yakni berteman dekat dengan Nabi saw dan lama mengikuti majelis Rasulullah saw.
Jalan untuk mengetahui shahabat Rasulullah saw adalah sebagai berikut; pertama; khabar mutawatir bahwa ia seorang shahabat, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga, kedua; khabar masyhur atau khabar mustafidl yang tidak sampai ke derajat mutawatir, seperti, Dhimam bin Tsa’labah, dan Akasyah bin Mihshan; ketiga dengan jalan diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat atau tabi'in bahwa seseorang itu adalah shahabat; seperti, kesaksian Abu Musa al-Asy’ariy kepada Hamamah al-Dausi, bahwa al-Dausi mendengar hadits dari Rasulullah saw; keempat, dengan ucapan ataupun kabar dari dirinya sendiri bahwa ia adalah shahabat setelah ada penetapan bahwa ia adalah benar-benar adil dan hidup semasa Rasulullah saw.
Penelitian terhadap kredibilitas shahabat adalah sangat penting. Sebab, mereka adalah komunitas yang mengajarkan al-Quran dan Hadits kepada kaum muslimin di masa berikutnya. Seluruh pokok agama ini (ushuluddin) berpangkal dari mereka. Benar dan selamatnya agama ini sangat bergantung kepada ketsiqahan mereka di dalam menukilkan Islam kepada kita. Atas dasar itu, penelitian terhadap shahabat harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Dalam buku ini dibahas dengan tuntas, diskusi seputar definisi shahabat dan syarat-syarat seseorang absah disebut shahabat.
Penetapan definisi terhadap shahabat akan berimplikasi luas terhadap pertama; klasifikasi personal, apakah seseorang termasuk shahabat atau tidak. Kedua, untuk menetapkan apakah seseorang perlu dijarh dan dita'diil atau tidak.
Mengapa para shahabat tidak perlu jarh dan ta'diil? Pasalnya, bila kita meneliti keseluruhan nash baik yang tercantum dalam al-Quran dan Sunnah, kita bisa menyimpulkan bahwa para shahabat adalah seutama-utama manusia dan telah mendapatkan ta'diil tertinggi dari sisi Allah swt. Keadilan mereka pada hakekatnya telah dijamin sendiri oleh Allah swt, terutama berkenaan dengan fungsi mereka sebagai komunitas yang menukilkan al-Quran dan Sunnah dari Rasulullah saw kepada seluruh kaum muslimin. Tidak aneh, bila ahli tahqiq --termasuk para 'ulama hadits maupun fiqh --berkesimpulan bahwa keadilan mereka telah ditetapkan sendiri oleh Allah swt. Dengan kata lain, komunitas shahabat adalah komunitas yang telah mendapatkan ta'diil tertinggi dari Allah dan Rasul-Nya. Ta'dil siapakah yang lebih tinggi dari ta'dil Allah dan Rasul-Nya?
Tatkala para pentahqiq menyimpulkan bahwa para shahabat tidak perlu dijarh wa ta'diil, bukan berarti mereka tidak melakukan penelitian sama sekali terhadap keadilan para shahabat; atau terlalu berlebihan dalam menilai shahabat. Akan tetapi, mereka telah mencurahkan segenap kemampuan untuk meneliti baik secara ‘aqliy maupun naqliy terhadap shahabat. Lalu, mereka memperoleh suatu kesimpulan bahwa keadilan shahabat telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Walhasil, para shahabat adalah adil. Pada dasarnya, keadilan shahabat telah dijamin oleh wahyu. Untuk itu, jarh wa ta'diil tidak berlaku bagi mereka.
Sebelum mendiskusikan lebih jauh mengenai definisi shahabat, perlu diketengahkan terlebih dahulu cara berdalil dengan lafadz Al-Quran dan Sunnah. Ini ditujukan agar pendefinisian lafadz shahabat benar-benar mengikuti kaedah istidlal dengan al-Quran dan Sunnah.
Lafadz shahabat banyak disebut di dalam al-Quran maupun sunnah. Atas dasar itu untuk memaknai lafadz shahabat harus dikaji secara mendalam, apakah lafadz shahabat yang tercantum dalam nash-nash syara’ memiliki makna syar’iy, ‘urfiy, atau lughawi saja. Semua ini mutlak memerlukan pengetahuan mengenai istidlal dengan al-Quran dan Sunnah.
Atas dasar itu, seseorang tidak terhitung shahabat kecuali memenuhi syarat, atau tercakup dalam makna
shuhbah, yakni berteman dekat dengan Nabi saw dan lama mengikuti majelis Rasulullah saw.
Jalan untuk mengetahui shahabat Rasulullah saw adalah sebagai berikut; pertama; khabar mutawatir bahwa ia seorang shahabat, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga, kedua; khabar masyhur atau khabar mustafidl yang tidak sampai ke derajat mutawatir, seperti, Dhimam bin Tsa’labah, dan Akasyah bin Mihshan; ketiga dengan jalan diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat atau tabi'in bahwa seseorang itu adalah shahabat; seperti, kesaksian Abu Musa al-Asy’ariy kepada Hamamah al-Dausi, bahwa al-Dausi mendengar hadits dari Rasulullah saw; keempat, dengan ucapan ataupun kabar dari dirinya sendiri bahwa ia adalah shahabat setelah ada penetapan bahwa ia adalah benar-benar adil dan hidup semasa Rasulullah saw.
Penelitian terhadap kredibilitas shahabat adalah sangat penting. Sebab, mereka adalah komunitas yang mengajarkan al-Quran dan Hadits kepada kaum muslimin di masa berikutnya. Seluruh pokok agama ini (ushuluddin) berpangkal dari mereka. Benar dan selamatnya agama ini sangat bergantung kepada ketsiqahan mereka di dalam menukilkan Islam kepada kita. Atas dasar itu, penelitian terhadap shahabat harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Dalam buku ini dibahas dengan tuntas, diskusi seputar definisi shahabat dan syarat-syarat seseorang absah disebut shahabat.
Penetapan definisi terhadap shahabat akan berimplikasi luas terhadap pertama; klasifikasi personal, apakah seseorang termasuk shahabat atau tidak. Kedua, untuk menetapkan apakah seseorang perlu dijarh dan dita'diil atau tidak.
Mengapa para shahabat tidak perlu jarh dan ta'diil? Pasalnya, bila kita meneliti keseluruhan nash baik yang tercantum dalam al-Quran dan Sunnah, kita bisa menyimpulkan bahwa para shahabat adalah seutama-utama manusia dan telah mendapatkan ta'diil tertinggi dari sisi Allah swt. Keadilan mereka pada hakekatnya telah dijamin sendiri oleh Allah swt, terutama berkenaan dengan fungsi mereka sebagai komunitas yang menukilkan al-Quran dan Sunnah dari Rasulullah saw kepada seluruh kaum muslimin. Tidak aneh, bila ahli tahqiq --termasuk para 'ulama hadits maupun fiqh --berkesimpulan bahwa keadilan mereka telah ditetapkan sendiri oleh Allah swt. Dengan kata lain, komunitas shahabat adalah komunitas yang telah mendapatkan ta'diil tertinggi dari Allah dan Rasul-Nya. Ta'dil siapakah yang lebih tinggi dari ta'dil Allah dan Rasul-Nya?
Tatkala para pentahqiq menyimpulkan bahwa para shahabat tidak perlu dijarh wa ta'diil, bukan berarti mereka tidak melakukan penelitian sama sekali terhadap keadilan para shahabat; atau terlalu berlebihan dalam menilai shahabat. Akan tetapi, mereka telah mencurahkan segenap kemampuan untuk meneliti baik secara ‘aqliy maupun naqliy terhadap shahabat. Lalu, mereka memperoleh suatu kesimpulan bahwa keadilan shahabat telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Walhasil, para shahabat adalah adil. Pada dasarnya, keadilan shahabat telah dijamin oleh wahyu. Untuk itu, jarh wa ta'diil tidak berlaku bagi mereka.
Sebelum mendiskusikan lebih jauh mengenai definisi shahabat, perlu diketengahkan terlebih dahulu cara berdalil dengan lafadz Al-Quran dan Sunnah. Ini ditujukan agar pendefinisian lafadz shahabat benar-benar mengikuti kaedah istidlal dengan al-Quran dan Sunnah.
Lafadz shahabat banyak disebut di dalam al-Quran maupun sunnah. Atas dasar itu untuk memaknai lafadz shahabat harus dikaji secara mendalam, apakah lafadz shahabat yang tercantum dalam nash-nash syara’ memiliki makna syar’iy, ‘urfiy, atau lughawi saja. Semua ini mutlak memerlukan pengetahuan mengenai istidlal dengan al-Quran dan Sunnah.
di 15.31
Label: Pemikiran Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar