SAHABAT NABI

Selasa, 23 Februari 2010

Shahabat adalah orang yang lama menjalin pershahabatan dengan Rasulullah saw, banyak mengikuti majelis Rasulullah saw dengan jalan bergaul intens (tatabbu'), dan mengadopsi langsung dari Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Syu'bah bin Musa al-Sabalaniy berkata, "Saya berjumpa dengan Anas bin Malik, kemudian saya bertanya kepadanya, "Apakah masih ada shahabat Rasulullah saw yang tersisa selain anda?" Anas berkata," Masih ada sebagian orang 'Arab yang melihat Rasulullah saw, adapun orang yang bershahabat dengannya sudah tidak ada". Al-Mazaniy berkata dalam Syarh al-Burhan, "Menurut kami, shahabat yang adil itu bukanlah orang yang sekedar melihat Rasulullah saw sehari atau melihatnya dengan temporal, atau berkumpul dengannya untuk suatu tujuan tertentu tetapi tidak berteman dekat dengan Rasulullah saw. Menurut kami, shahabat adalah orang yang dekat dengan Rasulullah saw, menolongnya, dan mengikuti cahaya (petunjuk) yang telah diturunkan Allah swt, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung". Imam Abu Bakar Ahmad bin 'Aliy al-Hafidz dengan sanad dari Sa'id bin Musayyab bahwa ia pernah berkata, "Kami tidak menghitungnya shahabat kecuali orang yang bersama dengan Rasulullah saw satu, atau dua tahun, dan berperang bersamanya sekali atau dua kali peperangan"
Atas dasar itu, seseorang tidak terhitung shahabat kecuali memenuhi syarat, atau tercakup dalam makna
shuhbah, yakni berteman dekat dengan Nabi saw dan lama mengikuti majelis Rasulullah saw.
Jalan untuk mengetahui shahabat Rasulullah saw adalah sebagai berikut; pertama; khabar mutawatir bahwa ia seorang shahabat, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga, kedua; khabar masyhur atau khabar mustafidl yang tidak sampai ke derajat mutawatir, seperti, Dhimam bin Tsa’labah, dan Akasyah bin Mihshan; ketiga dengan jalan diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat atau tabi'in bahwa seseorang itu adalah shahabat; seperti, kesaksian Abu Musa al-Asy’ariy kepada Hamamah al-Dausi, bahwa al-Dausi mendengar hadits dari Rasulullah saw; keempat, dengan ucapan ataupun kabar dari dirinya sendiri bahwa ia adalah shahabat setelah ada penetapan bahwa ia adalah benar-benar adil dan hidup semasa Rasulullah saw.

Penelitian terhadap kredibilitas shahabat adalah sangat penting. Sebab, mereka adalah komunitas yang mengajarkan al-Quran dan Hadits kepada kaum muslimin di masa berikutnya. Seluruh pokok agama ini (ushuluddin) berpangkal dari mereka. Benar dan selamatnya agama ini sangat bergantung kepada ketsiqahan mereka di dalam menukilkan Islam kepada kita. Atas dasar itu, penelitian terhadap shahabat harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Dalam buku ini dibahas dengan tuntas, diskusi seputar definisi shahabat dan syarat-syarat seseorang absah disebut shahabat.

Penetapan definisi terhadap shahabat akan berimplikasi luas terhadap pertama; klasifikasi personal, apakah seseorang termasuk shahabat atau tidak. Kedua, untuk menetapkan apakah seseorang perlu dijarh dan dita'diil atau tidak.

Mengapa para shahabat tidak perlu jarh dan ta'diil? Pasalnya, bila kita meneliti keseluruhan nash baik yang tercantum dalam al-Quran dan Sunnah, kita bisa menyimpulkan bahwa para shahabat adalah seutama-utama manusia dan telah mendapatkan ta'diil tertinggi dari sisi Allah swt. Keadilan mereka pada hakekatnya telah dijamin sendiri oleh Allah swt, terutama berkenaan dengan fungsi mereka sebagai komunitas yang menukilkan al-Quran dan Sunnah dari Rasulullah saw kepada seluruh kaum muslimin. Tidak aneh, bila ahli tahqiq --termasuk para 'ulama hadits maupun fiqh --berkesimpulan bahwa keadilan mereka telah ditetapkan sendiri oleh Allah swt. Dengan kata lain, komunitas shahabat adalah komunitas yang telah mendapatkan ta'diil tertinggi dari Allah dan Rasul-Nya. Ta'dil siapakah yang lebih tinggi dari ta'dil Allah dan Rasul-Nya?

Tatkala para pentahqiq menyimpulkan bahwa para shahabat tidak perlu dijarh wa ta'diil, bukan berarti mereka tidak melakukan penelitian sama sekali terhadap keadilan para shahabat; atau terlalu berlebihan dalam menilai shahabat. Akan tetapi, mereka telah mencurahkan segenap kemampuan untuk meneliti baik secara ‘aqliy maupun naqliy terhadap shahabat. Lalu, mereka memperoleh suatu kesimpulan bahwa keadilan shahabat telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Walhasil, para shahabat adalah adil. Pada dasarnya, keadilan shahabat telah dijamin oleh wahyu. Untuk itu, jarh wa ta'diil tidak berlaku bagi mereka.
Sebelum mendiskusikan lebih jauh mengenai definisi shahabat, perlu diketengahkan terlebih dahulu cara berdalil dengan lafadz Al-Quran dan Sunnah. Ini ditujukan agar pendefinisian lafadz shahabat benar-benar mengikuti kaedah istidlal dengan al-Quran dan Sunnah.
Lafadz shahabat banyak disebut di dalam al-Quran maupun sunnah. Atas dasar itu untuk memaknai lafadz shahabat harus dikaji secara mendalam, apakah lafadz shahabat yang tercantum dalam nash-nash syara’ memiliki makna syar’iy, ‘urfiy, atau lughawi saja. Semua ini mutlak memerlukan pengetahuan mengenai istidlal dengan al-Quran dan Sunnah.

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti