DOKTRIN ISLAM

Senin, 22 Februari 2010

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya.

Definisi ini diambil dari beberapa nas, baik al-Qur’an maupun Hadits. Definisi itu sendiri merupakan deskripsi realitas yang bersifat Jâmi’ (komprehensif) dan Mâni’ (protektif). Artinya, definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang dideskripsikan. Inilah gambaran mengenai definisi yang benar.

Batasan Islam sebagai “agama yang diturunkan oleh Allah SWT” telah memproteksi agama yang tidak diturunkan oleh Allah SWT. Ini meliputi agama apa pun yang tidak diturunkan oleh Allah SWT, baik Hindu, Budha, Konghucu, Sintoisme ataupun yang lain. Sedangkan batasan “kepada Nabi Muhammad saw.” telah...

memproteksi agama lain selain agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., baik agama yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa maupun yang lain, apakah Kristen, Yahudi ataupun agama-agama Nabi dan Rasul yang lain. Mengenai batasan “yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya” merupakan deskripsi yang komprehensif meliputi seluruh aspek, mulai dari urusan dunia sampai akhirat, baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka maupun akidah, ibadah, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya.

Semuanya ini dijelaskan oleh nas-nas syara’, antara lain:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Q.s. Ali Imrân: 19).

Ayat ini menjelaskan kedudukan Islam sebagai agama samawi yang diturunkan oleh Allah kepada manusia. Namun ketika Allah menjelaskan “sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam” berarti bahwa agama lain, yang pernah diturunkan oleh Allah tidak diakui setelah diturunkannya Islam. Pengertian ini dikuatkan oleh firman Allah SWT yang menyatakan:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

“Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Aku cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, serta Aku ridhai Islam sebagai agama kamu.” (Q.s. Al-Mâidah: 3).

Ayat ini menjelaskan, bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT, sementara yang lain tidak. Ini bisa difahami dari mafhûm mukhâlafah lafadz: “Aku ridhai” yang merupakan kata kerja sifat: “Aku ridhai Islam sebagai agama kamu” yang berarti: “Aku tidak meridhai selain Islam sebagai agama kamu.” Mafhûm ini diperkuat oleh nas berikut ini:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.s. Ali Imrân: 85).

Ayat ini dengan jelas menyebutkan lafadz: Islâm sebagai Din (agama), sedangkan lafadz yang sama: Islâm tidak pernah digunakan sekali pun oleh al-Qur’an untuk menyebut nama agama-agama Nabi sebelumnya. Kalaupun disebutkan juga dengan ungkapan yang tidak jelas. Misalnya:

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (Muhammad) sama seperti yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya.” (Q.s. An-Nisâ’: 163).

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) untuk mengikuti ‘millah’ Ibrahim yang lurus.” (Q.s. An-Nahl: 123).

Kedua ayat di atas: “Kami telah mewahyukan kepadamu (Muhammad) sama seperti yang telah Kami wahyukan kepada Nuh.” adalah ayat yang bermakna umum, di mana ungkapan: “Kami telah mewahyukan” bisa meliputi akidah, yaitu ajaran tawhid dan syari’ah, yaitu sistem, juga bisa meliputi salah satu ataupun keduanya sekaligus. Demikian juga ungkapan: “Mengikuti ‘millah’ Ibrahim” juga bermakna umum, yang bisa meliputi dua hal, yaitu akidah dan syari’ah. Namun jika kedua-duanya inilah yang dimaksudkan, yakni akidah dan syariahnya sekaligus, tentu maknanya akan bertentangan dengan nas yang muhkamât:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk masing-masing (ummat) di antara kamu, Kami telah tetapkan aturan dan syari’atnya sendiri-sendiri.” (Q.s. Al-Mâidah: 48).

lafadz: Asalama bisa diartikan: Tunduk dan patuh sebagaimana makna bahasanya. Ini termasuk lafadz: Muslim dan Muslimin.

Alasan lain adalah, bahwa pembahasan apakah agama Karena itu, pengertian yang tepat serta tidak bertentangan dengan nas yang lain adalah: “Kami telah mewahyukan prinsip tauhid yang sama dengan apa yang Kami wahyukan kepada Nuh.” termasuk makna ‘millah’ Ibrahim adalah: “Mengikuti prinsip tauhid Ibrahim yang lurus.” Meskipun dalam masalah syariatnya berbeda. Alasannya karena: “Masing-masing telah kami tetapkan aturan dan syari’atnya sendiri-sendiri.” (Q.s. Al-Mâidah: 48).

Adapun pernyataan yang menggunakan ungkapan: Aslamtu Ma’a Sulaymân (Q.s. An-Naml: 44) yang dinyatakan oleh Balqis sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Balqis telah memeluk agama Islam, atau agama Nabi Sulaymân adalah Islam. Tetapi makna ayat tersebut adalah: “Aku tunduk kepada Sulaymân dan agamanya.” Sebab, tidak ada qarinah (indikasi) yang menjelaskan maksud tersebut. Antara lain tidak ada lafadz: “Islâm” dan “Din” yang disebutkan dalam konteks ayat tersebut sebagai istilah untuk agama Nabi Sulaymân, sekalipun lafadz: Aslamtu adalah satu akar kata dengan lafadz: Islâm. Alasannya, karena tidak selamanya lafadz yang asalnya satu akar kata maknanya sama. Contoh lafadz: Jama’a dengan lafadz: Jimâ’ jelas maknanya berbeda. Jama’a artinya mengumpulkan, sedangkan Jimâ’ artinya bersetubuh. Padahal keduanya adalah satu akar kata yang mengikuti wazan yang sama. Disamping itu Nabi terdahulu Islam atau tidak sebenarnya merupakan pembahasan akidah yang dijelaskan oleh al-Qur’an sebagai kisah (qashas), yang menceritakan sesuatu yang realitasnya tidak ada pada saat ini. Maka, untuk membuktikannya hanya bisa dilakukan melalui nas yang qath’i, sementara tidak ada satu pun nas qath’i yang menjelaskan pengertian seperti ini. Kecuali dengan teks yang umum: Aslamtu, Muslimîn dan Muslim dan sebagainya. Disamping juga karena tidak disertai qarînah (indikasi) yang bisa menjelaskan pengertian syar’inya, sehingga nas-nas tersebut tidak bisa diartikan dengan maksud memeluk agama Islam.

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti