Kedudukan Akhlak dalam Islam

Sabtu, 07 April 2012

Banyak ulama’ telah mengklasifikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu: akidah, syariah dan akhlak. Namun ada juga ulama’ yang hanya mengklasifikan ajaran menjadi dua bagian, yaitu: akidah dan syariah, atau dengan kata lain: akidah dan sistem.

Bagaimana sebenarnya kedudukan akhlak dalam ajaran Islam? Dalam pandangan Islam, akhlak bukan hanya sekedar sifat baik­ buruk, sehingga ketika berupa sifat baik, disebut akhlâq mahmûdah, dan disebut akhlâq madzmûmah ketika berupa kebalikannya. Akhlak memang sifat perbuatan, tetapi persoalan sifat tersebut tidak sesederhana itu. Sebab, sifat perbuatan baik dan buruk tersebut tidak muncul dengan sendirinya  dari perbuatan itu sendiri.
Misalnya duduk. Duduk tidak bisa dinilai baik atau buruk semata-mata karena substansi duduknya itu sendiri. Karena substansi duduk adalah sama, tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Demikian halnya dengan membunuh, juga tidak dapat dinyatakan baik atau buruknya berdasarkan substansi membunuhnya itu sendiri, melainkan harus dilihat dari aspek lain. Iktikaf di masjid adalah duduk, yang dinilai baik karena diperintahkan oleh Allah, bukan karena substansi duduknya. Membunuh orang murtad diperintahkan sebagai bentuk sanksi hukum atas kemurtadannya jelas baik, bukan karena substansi membunuhnya, melainkan karena Allah telah menetapkan hukum bunuh untuk mengganjarnya. Berbeda dengan membunuh orang yang haram darahnya (ma’shûm ad-damm), seperti  orang Islam atau kafir dzimmi jelas buruk, karena diharamkan oleh Allah. Karena itu ini merupakan perbuatan tercela.
Dengan demikian yang menentukan sifat perbuatan baik dan buruk bukan perbuatan itu sendiri, melainkan aspek di luar perbuatan, yaitu:
1.  Tujuan perbuatan: Untuk apa perbuatan tersebut dilakukan? Apakah mencari ridha Allah atau bukan?
2.  Standar dan balasan perbuatan:  Apakah perbuatan yang dilakukan sesuai dengan hukum syara’ atau tidak? Apakah perbuatan tersebut mengakibatkan pahala atau dosa, termasuk surga dan neraka?
Dengan demikian, akhlak bukan sekedar sifat baik atau buruk, tetapi lebih dari itu, akhlak merupakan hukum syara’ yang menyangkut sifat perbuatan. Jujur, amanah, khianat dan sebagainya, misalnya, tidak bisa dilihat hanya sebagai sifat baik, tetapi harus dilihat sebagai hukum syara’ yang memang wajib dilaksanakan. Orang yang melakukan atau meninggalkannya bukan hanya dianggap melakukan perbuatan baik atau buruk, tetapi harus dianggap melakukan kewajiban, kesunahan atau keharaman dan kemakruhan.
Ketika akhlak dinilai melalui paradigma baik atau buruk saja, tentu akhlak akan berubah-ubah mengikuti pandangan temporal manusia terhadap sifat tersebut. Karena itu, kebaikan dan keburukan harus diukur dengan standar yang jelas, yaitu hukum syara’. Contohnya, jujur kadang baik, dan kadang buruk. Jujur menjadi tidak baik ketika seseorang ditawan musuh kemudian diinterograsi agar membocorkan rahasia pasukannya. Jujur dalam konteks seperti ini tidak baik, ketika berbohong alias tidak jujur justru dibolehkan, karena alasan terpaksa. Kasih sayang juga demikian tidak selamanya berarti baik. Kadang harus bersikap tegas dan tidak mengenal kasih sayang kepada orang lain. Contohnya orang yang mencintai saudara sesama muslim adalah baik, tetapi mencintai orang non-muslim justru sebaliknya. Belas kasihan kepada orang yang dikenai sanksi, misalnya, adalah sifat yang tidak baik.
Karena itu, akhlak didefinisikan dengan sifat-sifat yang diperintahkan oleh Allah kepada seorang muslim agar menjadi identitasnya pada saat melakukan aktivitas. Akhlak adalah bagian dari hukum Islam. Maka, akhlak merupakan perintah dan larangan Allah SWT yang berhubungan dengan sifat, seperti jujur, sabar, lemah-lembut ketika berdiskusi dengan orang lain, mengutamakan orang lain dibanding dengan dirinya dalam hal kebaikan, bersikap adil ataupun khusyû’  dalam shalat dan sebagainya. Semuanya ini merupakan hukum syara’ yang berkaitan dengan sifat, baik wajib, sunnah, haram maupun makruh. Dengan demikian, akhlak sebagai bagian dari ajaran Islam tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari hukum syara’ yang lain. Karena itu, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan hukum syara’ yang lain. Sebab, sifat tersebut tidak menonjol pada seseorang, kecuali ketika melaksanakan aktivitas tertentu. Karena itu, orang yang melaksanakannya bukan hanya mendapatkan kemuliaan di mata manusia, tetapi juga mendapat pahala dari Allah SWT, sehingga ketika Nabi saw. ditanya:
«تَقْوَى اللهِ وَحَسُنَ الْخُلُقِ»
“Apa yang paling banyak mempengaruhi seseorang agar bisa masuk surga?”  Beliau saw. menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” 35

Sedangkan identitas ketakwaan seseorang terlihat ketika dia melaksanakan seluruh hukum Allah dan meninggalkan semua larangan­Nya. Atau dengan bahasa yang tegas, takwa adalah tindakan menjaga diri dari siksa neraka sebagai konsekuensi ketika melaksanakan atau meninggalkan perbuatan. Inilah makna takwa yang sesungguhnya. Dengan demikian, sebenarnya ketakwaan dan akhlak tersebut sama-sama merupakan hasil implementasi dari hukum syara’[]

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti