[49] Keistimewaan Nabi SAW dan Istri-istrinya

Jumat, 08 April 2011





Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah) (TQS al-Ahzab [33]: 6)
Di hadapan kaum Muslim, Rasulullah menempati kedudukan istimewa. Atas seizin Allah SWT, semua perintah dan larangan beliau wajib ditaati. Bahkan kaum Muslim diperintahkan mencintai beliau melebihi kecintaan terhadap diri mereka sendiri. Sebagian keistimewaan itu pun merembet kepada istri-istrinya. Tentu hanya dalam perkara-perkara tertentu saja. Perkara ini dengan gamblang dijelaskan ayat di atas. Di samping kedudukan Nabi SAW, ayat ini juga menjelaskan kedudukan kaum kerabat dalam soal pewarisan harta.
Nabi SAW di Hadapan Kaum Mukmin
Allah SWT berfirman: al-Nabiyyu awlâ bi al-mu'minîn min anfusihim (Nabi itu [hendaknya] lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri). Kata al-Nabiyy yang dimaksud dalam ayat ini adalah Rasulullah SAW. Ditegaskan, beliau itu awlâ (lebih utama) bagi kaum Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri. Kata awlâ bi al-mu'minîn berarti ahaqqu wa aqrabu ilayhim (lebih berhak dan lebih dekat terhadap mereka). Demikian al-Alusi dalam tafsirnya.

Menurut al-Baghawi, perkara yang harus didahulukan itu adalah dalam penerapan hukum-hukumnya dan kewajiban menaatinya bagi mereka. Tidak jauh berbeda, Ibnu Zaid juga mengatakan bahwa itu dalam perkara yang diputuskan di antara mereka sebagaimana seseorang lebih utama dibanding budaknya dalam perkara yang telah diputuskan. Ibnu Abbas dan Atha' memaknainya: Jika mereka dipanggil oleh Nabi SAW dan sesama mereka untuk suatu urusan, maka taat terhadap Nabi SAW lebih utama dibanding dengan ketaatan mereka terha-dap sesama mereka. Penafsiran ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-Nisa [4]: 65.

Pengertian lebih luas diberikan oleh al-Zamakhsyari, al-Syaukani, dan para mufassir lainnya. Menurut mereka, Rasulullah SAW lebih berhak atas mereka dalam semua urusan dîn dan dunia. Alasan al-Zamakhsyari, ayat ini bersifat mutlak dan tidak ada taqyîd (batasan). Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslim lebih mencintai beliau daripada terhadap diri mereka sendiri. Hukumnya juga wajib diterapkan atas mereka daripada hukum mereka sendiri. Haknya juga harus lebih dipentingkan daripada hak-hak mereka. Kasih sayang mereka terhadap beliau harus lebih didahulukan daripada terhadap orang lain. Mereka pun wajib menaruh semua yang lain di bawah beliau dan menjadikannya sebagai tebusan tatkala ditimpa kesulitan. Juga menjadikan diri mereka sebagai perisai bagi beliau ketika perang berkobar. Mereka pun tidak mengikuti apa yang mereka inginkan. Namun mereka mengikuti semua panggilan Rasulullah SAW. Sebab, semua panggilan beliau adalah pelajaran untuk memperoleh keberhasilan, kemenangan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Penafsiran tersebut juga sejalan dengan sabda Nabi SAW: Tidak beriman seorang hamba hingga aku lebih dicintai daripada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia yang lainnya (Mutafaq 'alaih).

Selain posisi Nabi SAW, dijelaskan juga posisi istri-istri beliau di hadapan kaum Muslim. Allah SWT berfirman: Wa azwâ-juhu ummahatuhum (dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka). Tasybîh para istri Nabi SAW sebagai ibu kaum Mukmin ini dalam beberapa hukum, yakni dalam: kewajiban memberikan penghormatan kepadanya dan keharaman menikahinya. Ketentuan larangan menikahi mantan istri-istri Nabi SAW, baik karena ditalak atau ditinggal wafat, juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: Dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat (TQS al-Ahzab [33]: 53). Sedangkan selain dua perkara tersebut, berlaku sebagaimana layaknya terhadap wanita ajnabi (nonmahram) lainnya. Demikian penjelasan al-Zamakhsyari. Juga harus ditegaskan, ketentuan tersebut hanya berlaku untuk mereka. Tidak berlaku bagi ibu atau saudara para istri Nabi SAW itu.
Sedangkan kewajiban memberikan penghormatan terhadap mereka, ditegaskan al-Qurthubi, ini berlaku untuk seluruh kaum Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan.

Seputar Kekerabatan

Selanjutnya Allah SWT menjelaskan seputar hak kekerabatan di antara mereka dengan firman-Nya: Wa ûlû al-arhâm ba'dhuhum awlâ biba'dh fî Kitâbil-Lâh min al-Mu'minîn wa al-Muhâjirîn (dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak [waris mewarisi] di dalam Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin). Yang dimaksud dengan ûlû al-arhâm adalah kaum kerabat. Sedangkan kata awlâ (lebih berhak) di sini dalam perkara waris.

Patut dicatat, pada awal hijrah ke Madinah, Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Tali persaudaraan ini hingga dalam pewarisan. Sehingga, orang yang dipersaudarakan Rasulullah SAW itu saling mewarisi sebagaimana layaknya saudara sekandung. Ayat ini, sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi, Ibnu Katsir, al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, dan para mufassir lainnya, menasakh (menghapus) ketentuan tersebut. Di samping ayat ini, juga dengan âyât al-mawârits (ayat-ayat waris). Bahwa yang lebih berhak dalam soal pewarisan harta adalah kaum kerabat. Bukan lagi didasarkan pada ikatan keimanan atau hijrah sebagaimana sebelumnya.

Akan tetapi masih ada yang diperkecualikan dalam soal harta yang ditinggal mati oleh pemiliknya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT selanjutnya: illâ an taf'alû ilâ awliyâ'ikum ma'-rûf[an] (kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu [seagama]). Sebagaimana dijelaskan al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, al-Jazairi, al-Samarqandi, dan mufassir lainnya bahwa perkara ma'ruf yang diperbolehkan di sini adalah wasiat. Seorang yang hendak meninggal, bisa memberikan sebagian hartanya kepada saudara Muslim lainnya dalam bentuk wasiat. Ketika harta telah diwasiatkan, maka orang yang diberi wasiat itu lebih berhak daripada ahli warisnya. Hanya saja, wasiat ini tidak boleh melebihi batas sepertiga. Di sam-ping wasiat, yang masih disisakan dalam cakupan awlâ ini adalah al-nashr (pertolongan), al-birr (kebajikan), al-shilah (hubungan, ikatan), dan al-ihsân (kebaikan).

Ayat ini diakhiri firman-Nya: Kâna dzâlika fî al-Kitâb mas-thûr[an] (adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab [Allah]). Ayat ini memberikan penegasan bahwa aturan tersebut sudah tercatat dalam al-Kitâb masthûr[an]. Yakni dalam al-lawh mahfûdz.

Demikianlah sejumlah ketentuan yang harus ditaati setiap Muslim. Bertolak dari sini, maka tidak ada alasan sama sekali bagi kaum Muslim masih mempertahankan sistem Kapitalisme-Sekularisme beserta semua hukum yang terpancar darinya. Menerapkan sistem itu bukan hanya terbukti mengantarkan kepada kesengsaran dan pen-deritaan, namun juga menye-babkan dosa besar. Betapa tidak. Karena lebih percaya dengan Sekularisme-Kapitalisme itu, syariah yang dibawa Nabi SAW— yang semestinya lebih berhak untuk ditaati— justru ditelantarkan. Sungguh sangat ironis! Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.[]

Ikhtisar
1.    Rasulullah harus lebih berhak untuk ditaati, dicintai, didahulukan, dan dipentingkan bagi setiap Muslim melebihi lainnya.
2.    Istri-istri Rasulullah wajib dihormati dan haram dinikahi.
3.    Kaum kerabat lebih berhak dalam pewarisan harta yan ditinggal mati kecuali harta diwasiatkan.
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti