KONSEP MANUSIA MENURUT PSIKOLOGI BARAT DAN PERBANDINGANYA DENGAN PSIKOLOGI ISLAM

Selasa, 22 Februari 2011

I.PENDAHULUAN
“Apakah dan siapakah manusia?” pertanyaan klasik ini selalu menarik untuk dijawab oleh umat manusia sepanjang zaman. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berbagai filosof dan ilmuwan mencoba membangaun konsep apakah dan siapakah manusia. Dalam kenyataanya, jawaban atas pertanyaan ini selalu mengandung kelemahan karena keterbatasan manusia dalam memahami siapa dirinya dan sesamanya. Karenanya, sejumlah gugatan terhadap konsep manusia hadir dan ”berloncatan” dihadapan kita. Permasalahanya adalah mungkinkah kita akan berhasil membangun konsep manusia yang dapat memahami dan memperlakukan manusia secara benar?. Bagaimana pandangan Psikologi barat dan bagaimana pandangan islam tentang manusia.
Makalah ini mencoba menelaah bagaimana pandangan psikologi barat tentang manusia dan bagaimana pandangan psikologi islam tentang manusia.
II. PEMBAHASAN
Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan. Ia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah keluarga, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaannya sudah pasti ia mendapat pengaruh dari lingkungannya. Tetapi sebaliknya, ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi antara lain dengan cipta, rasa, karsa, norma, cita-cita dan nurani sebagai karakteristik kemanusiaannya. Kepadanya diturunkan pula agama agar selain ada relasi dengan sesamanya, juga ada hubungan dengan sang pencipta.

Demikian selintas gambaran mengenai manusia yang sudah tentu menarik perhatian berbagai cabang ilmu, terutama psikologi, untuk menelaahnya. Ironisnya, sekalipun makin banyak dilakukan telaah mengenai manusia dengan hasil penelitiannya yang begitu beragam, tetapi problema seputar manusia masih sangat banyak yang tidak terjawab. Bahkan pernyataan klasik yang sederhana pun apa dan siapa manusia itu ? pertanyan lugu yang mencerminkan hakikat kemanusiaan, tak kunjung tuntas para filosof sejak kurun Yunani purba sampai era pasca modern ini menjawabnya. Manusia tetap merupakan misteri.
Psikologi memandang Manusia
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan tri dimentional organo biologi, psiko edukasi dan sosiokultural ini dapat dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini unsur rohani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subyektif semata-mata.
Selain itu, psikologi apapun alirannya, menunjukkan bahwa filsafat manusia yang mendasarinya bercorak antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini mengangkat derajat manusia ke tempat teramat tinggi. Ia seakan-akan prima kausa yang unik, pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.
Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar psikologi, yakni :
1. Psikoanaisis (Psichoanalysis)
2. Psikologi perilaku (Behavior Psychiology)
3. Psikologi Humanistik (Humanistic Psychiology)
4. Psikologi transpersonal (Transpersonal Psychiology)
Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.
Psikoanalisis (Psichoanalysis)
Penentu dan pendiri psikoanalis adalah Sigmund Freud (1856-1939), seorang neurology berasal dari Austria, keturunan Yahudi. Barangkat dari pengalaman dengan para pasien, Freud menemukan ragam dimensi dan prinsip-prinsip mengenai manusia yang kemudian menyusun teori psikologi yang sangat mendasar, majemuk dan luas implikasinya di lingkungan ilmu-ilmu sosial, humaniora, filsafat dan ilmu agama serta memberi ilham terhadap berbagai kreasi seni.
Mazhab Psikoanalisa, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh system unconscriousness ( ketidaksadaran ) dalam diri manusia. Menurut Freud, tokoh pendiri Psikoanalisa, struktur jiwa manusia terdiri dari tiga system dasar, yaitu id, ego,dan super ego.
1. Id (das es) adalah system kepribadian biologis yang asli, berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Ia merupakan reservoir energi psikis yang menyediakan seluruh daya untuk system ego dan super ego. Freud menyebut ide dengan the true psyhic relity (kenytaan psikis yang sesungguhnya), karena id mempresentasikan dunisa batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Prinsip kerjanya adalah serba mengejar kenikmatan (pleasure principle) yang cenderung bersifat rasional, primitive, impulsive, dan agresif. Untuk menghindari ketidaknikmatan maka id mempunyai dua cara : pertama, refleks, yaitu reaksi-reaksi otomatis dalam tubuh, misalnya bersin, berkedip, dan sebagainya; kedua, proses primer, yaitu reaksi psikologis yang menghentikan tegangan melalui khayalan, seperti orang lapar membayangkan makanan.
2. Ego (das ich) adalah aspek psikologis kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan objektif. Ego mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) yang bersifat rasional-logis dan reaksinya menurut proses skunder. Tujuan prinsip ini adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasa kebutuhan. Ego disebut eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol tindakan, memili lingkungan untuk memberi respon, memuaskan isting yang dikehendaki dan berperan sebagai arbritator atau pengendali konflik antara id dan super ego.
3. Super Ego (das ueber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang ideal bukan riil, mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian utamanya adalah membedakan yang benar dan yang salah dan memilih yang benar. Timbulnya super ego ini bersumber dari suara hati (conscience) sehingga fungsinya : (1) merintangi impuls-implus id, terutama implus-implus seksual dan agresif yang aktualisasinya sangat ditentang masyrakat; (2) mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas daripada realistic; (3) mengejar kesempurnaan. Jadi ego menentang ukuran baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambaranya sendiri yang tidak rasional bahkan menunda dan merintangi pemuasan insting.

Freud juga membagi tahap kehidupan manusia di muka bumi kepada 3 bagian :
1. Tahap penyadaran diri, yakni fase dimana diyakini bahwa diri manusia adalah titik awal dari sesuatu pemikiran dan kehidupan dalam waktu yang bersamaan, manusia mengakui bahwa kekuatan optimalnya terletak pada kekuatan pikirannya.
2. Tahap agamis, yakni fase dimana seluruh kekuatan hanya dinisbatkan kepada Tuhan.
3. Tahap ilmiah, yakni manusia mengalami kekerdilan dirinya keraguan akan agama tidak akan berpengaruh apapun dalam dirinya. Manusia perlu mengkaji kematian sebagaimana layaknya fenomena lainnya.

Psikologi Perilaku (behavior psychiology)
Behaviorisme memandang manusia adalah makhluk biologis yang ‘terkondisi’ oleh lingkungannya. Oleh karena itu proses adaptasi merupakan tema sentral dalam kajian psikologi Behaviorisme. Proses adaptasi itu muncul dalam berbagai wajah yang menyatu dalam konsep sarbond, yaitu stimulus-respond-bond. Muncullah teori classical conditioning ( pembiasaan klasik ) yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov dan J.B. Watson.
Jelasnya, bahwa Behaviorisme memendang jiwa manusia itu berisiskan dan terbentuk oleh kumpulan pengalaman-pengalaman yang saling berhubungan secara otomatis, dan mekanistis. Ada empat dimensi kognisi (cipta), afeksi (rasa), konasi (karsa), dan psikomotor (karya).
Psikologi perilaku memberikan kontribusi penting dengan ditemukanya asas-asas perubahan perilaku yang banyak diamalkan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law inforcement, yakni:
1. Clasical conditioning (pembiasaan klasik) : suatu rangsang akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang itu sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut. Misalnya : Bel yang selalu dibunyikan mendahului pemberian makan seekor anjing lama kelamaan menimbulkan air liur pada anjing itu sekalipun makanan tidak diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena adanya asosiasi antara kedua rangsang itu.
2. Law of effect (hukum akibat) : perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan si pelaku cenderung akan diulangi, sebaiknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan atau merugikan cenderung akan dihentikan. Prinsip perubahan perilaku yang ditemukan oleh Edward Thondike salah seorang perintis aliran perilaku ini kemudian dikembangkan oleh B.F Skinner yang terkenal dengan teori “Operant Conditioning” nya.
3. Operant conditioning (pembiasaan operant) : suatu pola perilaku akan menjadi mantap apabila dengan perilaku itu berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan si pelaku (penguat positif) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan sipelaku (penghapusan).
4. Modelling (peneladanan) : Dalam kehidupan sosial perubahan perilaku terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi. Prinsip ini dikemukakan oleh Albert Bandura yang menunjukkan bahwa selain unsur rangsang dan reaksi juga unsur si pelaku sendiri sangat menentukan perubahan perilaku.

Psikologi Humanistik (Humanistic Psychiology)
Psikologi Humanistik yang dipandegani Abraham Maslow , berpandangan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas khas insani sebagai karakteristik esistensinya, serta dalam batas-batas tertentu mampu untuk mengaktualisasikannya. pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia tidak terbatas.
Berdasarkan itu, ada tiga asumsi dasar tentang konsep manusia, yang satu dan lainnya saling berhubungan, yaitu: 1. The freedom of will ( kebebasan berkehendak ); 2. The will to meaning ( kehendak untuk hidup bermakna ); dan 3. The meaning of life (makna hidup). Manusia tak mungkin bisa lepas dari berbagai kondisi, baik kondisi biologis, psikologis, social, maupun kesejarahannya. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from) kondisi itu, melainkan kebebasab untuk mengambil jarak dan menentukan sikap (freedom to take a stand) terhadap berbagai kondisi lingkungan dan terhadap dirinya sendiri (self detaclument). Tentang the will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna) merupakan motivasi utama manusia untuk mencari, menemukan, dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
Humanistic menjelaskan bahwa pleasure dan power sama sekali bukan tujuan, melainkan akibat sampingan (by product) dari tercapainya suatu tujuan. Bagi Humanistic, sebenarnya pleasure dan power, sudah tercakup dalam the will to meaning. Kekuasaan (power) merupakan sarana penting untuk mencapai makna hidup, dan kesenangan (pleasure) merupakan akibat sampingan dari terpenuhinya makna dan tujuan hidup. Dalam hal menemukan makna hidup (the meaning of life) ini setidak-tidaknya ada tiga hal potensial yang dapat dilakukan, yaitu: pertama, hal-hal yang biasa kita berikan kepada kehidupan, dalam artian berkarya dan berkreasi serta malaksanakan tugas hidup sebaik-baiknya. Kedua, hal-hal yang biasa kita peroleh dari kehidupan, yakni berusaha menghayati dan menaalami nilai-nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri, seperti kebenaran, keindahan, kebijakan, dan menghayati orang lain dalam arti mencintai dan mengasihinya. Ketiga, menerima dengan penuh ketabahan dan keberaian segala bentuk penderitaan yang tak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tak tersembuhkan lagi, kematian dan menjelang kematian sekalipun, setelah segala ikhtiar telah dilakukan secara maksimal. Ini berarti bahwa sikap tepat dalam menghadapi kondisi yang tak mungkin diubah dan dihindari itu adalah sikap tabah dan keberanian menghadapinya. Ini menunjukan bahwa dalam keadaan bagaimanapun makna hidup masih dapat ditemukan.
Psikologi transpersonal (transpersonal psychiology)
Banyak perintis aliran psikologi transpersonal, antara lain Abraham Maslow, Antony Sutich da Charles Taart yang juga pemuka-pemuka psikologi humanistic. Oleh karena itu cukup beralasan bila dikatakan bahwa psikologi transpersonal merupakan kelanjutan atau lebih tepat sebagai salah satu bentuk pengembangan psikologi humanistic. Mengenai aliran keempat ini, sebuah rumusan yang disusun oleh S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie setelah mereka menelaah lebih dari 40 ragam definisi tentang psikologi transpersonal dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, kiranya cukup memberikan gambaran mengenai psikologi transpersonal. Dua unsur penting yan menjadisasaran telaah psikologi Transpersonal, yaitu, potensi-potensi luhur (the bighest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness).
Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah : psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subyektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini. .
Islam Memandang Manusia
Islam memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu makhlukNya karakteristik ekstensi manusia harus dicari dalam relasi dengan sang pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Sekurang-kurangnya terdapat empat ragam relasi manusia yang masing-masing kutub positif dan negatif, yaitu :
1. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannas) yang ditandai oleh kesadaran untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar atau sebaliknya mengumbar nafsu-nafsu rendah.
2. Hubungan antar manusia (hablun minannas) dengan usaha membina silaturrahmi atau memutuskannya.
3. Hubungan manusia dengan alam sekitar (hablun minal’alam) yang ditandai upaya pelestarian dan pemanfaatan alam dengan sebaik-baiknya atau sebliknya menimbulkan kerusakan alam.
4. Hubungan manusia dengan sang pencipta (hablun minallah) dengan kewajiban ibadah kepadaNya atau menjadi ingkar dan syirik kepadaNya.
Gambaran Al-Qur’an mengenai Manusia
Kisah Adam bukan sekedar menceritakan asal-usul sejarah manusia, dari kisah Adampun kita bisa mengetahui semua yang terjadi sebelum manusia ada dan juga mengenal manusia di semua fase kehidupannya di muka bumi. Semua ayat ini (Al-Baqarah : 30) seolah menghilangkan keraguan akan apa yang sebenarnya terjadi sebelum manusia diciptakan, dan juga merekonstruksi riwayat-riwayat yang dikisahkan oleh para ahli kitab sebelum datangnya Islam. Selain itu, ayat diatas juga bias menjadi satu hokum penengah diantara semua teori asal-usul manusia yang berkembang luas dalam khalayak umum.
Sekalipun memiliki banyak kelemahan, tetapi dalam pandangan al-Qur’an manusia pada dasarnya baik. Fitrah manusia adalah suci dan beriman. Kecenderungan kepada agama merupakan sifat dasar manusia dan sadar atau tak sadar manusia selalu merindukan Tuhan, taat, khusuk, tawakal dan tidak ingkar terutama bila sedang mengalami malapetaka dan kesulitan hebat. Fitrah dalam arti insting (gharizah) dan wahyu dari Allah (Al Munazalah). Ibn Taimiyah membagi fitrah dalam 2 macam :
Fitrah Al Munazalah:Fitrah luar yang masuk dalam diri manusia. Fitrah ini dalam bentuk petunjuk Al-Qur’an dan As Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah Al Gharizah. Sedangkan Fitrah Al Gharizah: Fitrah ini dalam diri manusia yang memberi daya akan yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.



Perbedaan Psikologi barat dan Islam
Pandangan Psikoanalisa yang meyakini jiwa manusia sebagai susunan id, ego, dan super ego merupakan bagian kecil saja dari komponen jiwa manusia dalam kacamata Psikologi Islami. Komposisi itu memiliki sisi yang berdekatan dengan dimensi al-nafsu. Dimensi al-nafsu dalam Psikologi Islami memiliki sedikitnya tiga tingkatan yaitu, al-nafsu al-amarah, al-nafsu al-lawwamah, dan al-nafsu al-mutmainnah. Jadi, struktur jiwa manusia dalam Psikoanalisa menjadi struktur yang reduksionis, karena masih banyak dimensi lain yang belum terjangkau dalam struktur jiwanya.
Sedangkan pandangan Behaviorisme yang meyakini jiwa manusia merupakan susunan pengalaman yang tersusun secara sistematis, otomatis, dan mekanistis, dalam pandangan Psikologi Islami merupakan wilayah naluri, instink, atau refleks-refleks, yang berada dalam dimensi al-jism¬. Naluri, instink dan refleks-refleks ini merupakan tingkah laku yang berkerja secara otomatis-mekanistis. Ia tidak memerlukan koordinasi dengan al-aql dan al-qalb. Atau dengan kata lain ia bekerja dibawah kendali non kesadaran. Tingkah laku yang termasuk dalam karakteristik ini, misalnya; gerak dan detak jantung, peredaran darah, kedipan mata ketika sesuata akan menyentuhnya, gerakan refleks dll.
Konsp Psikologi Humanistik yang memandang struktur jiwa manusia terdiri atas; raga (somatis), jiwa (psikis), dan rohani (noetik atau spiritual), dipandang mendekati konsep Psikologi Islami.
Sementara itu, Psikologi Islami memiliki pandangan yang berbeda dengan Psikoanalisa dan Behaviorisme, tetapi ada kedekatan,- bukan sama-, dengan pandang Humanistik. Manusia dalam Psikologi Islami dipandang sebagai makhluk unik (istimewa) dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan khalqan akhar (makhluk istimewa). Ia adalah makhluk two in one atau makhluk satu wujud dua dimensi, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan rohani. Di dalam dirinya ditanamakan sifat mengakui adanya Tuhan dan ke-Esaan-Nya, memiliki kebebasan (free will), terpercaya (amanah) tanggung jawab, dan kecenderungan ke arah kebaikan. Eksistensinya dimulai dari keaadan lemah dahsyat. Jadi, dalam pandangan Psikologi Islami, bahwa teori Psikoanalisa jiwa manusia yang begitu kompleks dan luas. Teori-teori itu masing-masing hanya tertuju pada satu dimensi tertentu saja dan sama sekali tidak menyentuh dimensi yang lainnya. Teori-teori itu konsisten (istiqomah) dengan satu dimensi tersebut, sehingga seluruh tingkah laku manusia diinterpretasi dan dipahami berdasarkan satu dimensi tersebut. Pada gilirannya lahirlah misperception (kesalahan persepsi), misunderstanding (salah paham), dan miscomclution (salah kesimpulan) terhadap tingkah laku manusia.
Menurut Psikologi Islam manusia adalah makhluk unik (istimewa). Ia merupakan makhluk satu wujud dua dimensi ( two in one ) yang terdiri dari jasmani dan rohani. Dimensi rohani yang disebut dengan al-nafs (jiwa) memiliki unsur-unsur; al-nafsu, al-‘’aql ,al-qalb, al-ruh, dan al-fitroh. Unsur-unsur ini membentuk komposisi (struktur) yang sisitematis, utuh, integritas, dan sempurna, dan inilah struktur atau komposis jiwa manusia dalam Psikologi Islami.
Hal yang berbeda adalah pandangan mengenai baik tidaknya hakikat manusia. Islam memandang fitrah kemanusiaan suci dan beriman sedangkan di aliran psikologi ada yang menganggap hakikat manusia itu buruk (psikoanalisis), netral (psikologi perilaku), baik (psikologi humanistika) dan potensial (psikologi transpersonal). Yang paling bertentangan adalah orientasi filosofis mengenai manusia. Psikologi kontemporer berorientasi antroposentrisme, sedangkan orientasi agama adalah theosentrisme (Allah-sentrisme). Dua pandangan filsafat yang sulit dipertemukan.
Dengan demikian perjumpaan antara agama dengan psikologi dalam memandang manusia terdapat kesamaan (similarisasi) pada gambaran karakterologis, kesejalanan (paralelisasi) dalam asas-asas dan kualitas-kualitas insan, perlengkapan (komplementasi) dalam determinan kepribadian, serta saling menyangkal (falsifasi) dalam orientasi filosofis. Memang sebuah perjumpaan tidak selalu merupakan pertemuan
III. KESIMPULAN
Dif’at Syaukani Nawawi (1996) mengutip pendapat dokter A.Carrel yang menjelaskan tentang kesulitan yang dihadapi, untuk mengetahui tentang hakekat manusia. Dikataknnya bahwa pengetahuan manusia tentang makhluk-makhluk hidup umumnya dan manusia pada khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai oleh bidang ilmu lainnya, karena itu ia menyatakan jalan yang terbaik untuk mengenal siapa manusia adalah dengan merujuk kepada wahyu ilahi, agar kita dapat menentukan jawabannya. Al-Qur’an lah wahyu yang dapat diandalkan dalam masalah ini.
Jadi dalam pandangan psikologi islam, bahwa teori psikoanalisa, behaviorisme, dan humanistik tentang manusia adalah teori-teori yang reduksionis, belum tuntas, dan terlalu menyederhanakan persoalan jiwa manusia yang begitu kompleks dan luas. Teori-teori itu masing-masing hanya tertuju pada satu dimensi tertentu saja dan sama sekali tidak menyentuh dimensi yang lainya.
IV. PENUTUP
Demikianlah apa yang dapat penulis sampaikan, dengan penuh kesabaran dan ketelitian penulis menyampaikan apa yang sekiranya dapat penulis sampaikan dan penulis berharap semoga apa yang penulis sampaikan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin




DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 1995
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. (Yogyakarta: YAYASAN INSANI KAMIL), 2001
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam: Study Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur’an. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 2004
Hartati, Netti, Zahrotun NIhayah, dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.I
Taufiq, Muhammad Izzudin, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet. I
Nashori, Fuad, Membangun Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta. Sippress), 1999
Sururin, Ilmu JIwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2004
Sholah, Moh., Imam Musbikin, Agama Sebagai Terapi, Telaah Menuju ILmu Kedokteran Holistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005. Cet. I

0 komentar:

 
 
 

Free Ebook Down Load

score blog

survey

 
Copyright © dakwah tiada henti